Bicara soal
melancong, tidak luput dari oleh-oleh yang dibeli dari kota tujuan wisata kita.
Melihat dari kebiasaan wisatawan secara berulang-ulang dari tahun ke tahun yang
mengunjungi suatu daerah, akan ada saja oleh-oleh yang selalu mereka bawa
pulang ke rumah tidak berubah dari waktu ke waktu karena memang ciri khas
sebuah daerah tersebut.
Berburu oleh-oleh di luar kota bukan perkara
sepele. Kegiatan ini bisa sangat melelahkan dan cukup membuat stress. Masalah
pertama adalah harga. Misalkan
kita mau beli oleh-oleh gantungan kunci. Karena selain ga mahal, beli gantungan
kunci juga kan bisa dapat banyak. Sayangnya, respon mereka yang diberi
gantungan kunci sebagai oleh-oleh hampir seragam, “walah, oleh-olehnya cuman gantungan
kunci…pelit amat…”
Bagaimana dengan makanan?
Makanan adalah benda mahal untuk
pendatang. Harga rata-rata makanan untuk oleh-oleh berkisar antara
sekian puluh ribu
sampai sekian ratus ribu!!
Itupun biasanya respon dari mereka yang diberi oleh-oleh makanan juga hampir
seragam “walah…oleh-olehnya kok cuman makanan, …nggak enak pula”…atau…”mbok
oleh-oleh jangan makanan….barang apa gitu kek…” (padahal begitu dibelikan
gantungan kunci komentarnya “oleh-oleh kok cuman gantungan kunci…”).
Ada cerita teman yang habis berlibur ke Jepang.
Dia dimintai sodaranya untuk membelikannya kimono. Apa?
Kimono? Wakakaka…Anda tahu berapa harga kimono? Puluhan ribu bahkan
sering ratusan ribu yen!!! Bagaimana kalau boneka Ohinasama (boneka keluarga kaisar Jepang
yang disusun di meja bertingkat seperti yang sering kita lihat di komik/kartun
Jepang)? Hahahaha, itu juga puluhan ribu sampai ratusan ribu yen! Itu
hand-made, dan semua barang buatan tangan di Jepang harganya selalu sangat
mahal!
Nah, ini masalah yang kedua.
Mencari benda yang khas Jepang atau yang ada tulisan “made in Japan” itu bukan
pekerjaan yang mudah. Sangat mudah untuk menjumpai barang made in non Jepang,
terutama made in China di toko-toko. Tapi kalau made in Japan? Hm… Selain itu,
mencari benda yang khas Jepang juga susah. Kaos yang bertuliskan huruf Jepang,
misalnya, itu hanya ada di toko-toko tertentu saja. Kenapa susah? Penyebab
pertama mungkin karena perbedaan budaya. Di Jepang, jika ada yang bepergian ke
luar kota, maka buah tangan yang dibawanya adalah makanan khas daerah tersebut.
Sedangkan pernak-pernik khas di suatu daerah wisata, biasanya dibeli untuk
kenang-kenangan pribadi, bukan untuk oleh-oleh. Lha mbok itu aja dibeli buat
oleh-oleh. Yuk, kembali
ke masalah harga. Gantungan kunci misalnya, yang model seperti ini biasanya
harganya 700-an yen ke atas, meskipun bentuknya mungkin tidak lebih bagus dari
gantungan kunci lima ribu rupiah di Indonesia.
Oleh-oleh berupa makanan. Jangankan di luar
negeri, di kota Yogyakarta saja oleh-oleh sudah sangat mahal. Sebenarnya bukan
bahan bakunya yang mahal, akan tetapi factor x yang membuat harga dinaikkan.
Mulai dari sewa tempat yang tentunya strategis, segment pasar, gaji karyawan,
branding, sampai jatah preman dan tukang becak. Seperti toko oleh-oleh di
kawasan Jalan Solo. Barang-barang yang dijual sama persis seperti di supermarket
atau toko-toko makanan yang lain, namun harganya bisa tiga kali lipat.
“Pembeli kita kan, kebanyakan luar
kota, jadi kita kasih harga juga ga mungkin murah,donk,”kata si pemilik.
Ketika disinggung tentang
perbandingan harga di luar yang jauh lebih murah, Pak Susanto pun memaparkan
alasannya.
“Ya, kalau kita pasang harga senada
dengan yang lain, usaha kami bisa gulung tikar. Ada banyak pertimbangan untuk
menaikkan harga. Seperti gaji karyawan, ongkos produksi, transportasi, dan
marketing. Nah, biasanya kami pakai jasa marketing tukang becak, sopir bus, maupun
tourist guide. Kalau ga gitu, bisa ga jalan usaha kami. Sepi…” papar bapak
berputra dua tesebut. Setiap mereka bawa tamu, mau ga mau kita pasti ngasih
komisi donk… belum lagi jatah preman tiap bulan. Ya,itung-itung biar aman sih…”pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar