Senin, 09 September 2013

Oleh-olehnya kok mahal








Bicara soal melancong, tidak luput dari oleh-oleh yang dibeli dari kota tujuan wisata kita. Melihat dari kebiasaan wisatawan secara berulang-ulang dari tahun ke tahun yang mengunjungi suatu daerah, akan ada saja oleh-oleh yang selalu mereka bawa pulang ke rumah tidak berubah dari waktu ke waktu karena memang ciri khas sebuah daerah tersebut.
Berburu oleh-oleh di luar kota bukan perkara sepele. Kegiatan ini bisa sangat melelahkan dan cukup membuat stress. Masalah pertama adalah harga. Misalkan kita mau beli oleh-oleh gantungan kunci. Karena selain ga mahal, beli gantungan kunci juga kan bisa dapat banyak. Sayangnya, respon mereka yang diberi gantungan kunci sebagai oleh-oleh hampir seragam, “walah, oleh-olehnya cuman gantungan kunci…pelit amat…”
Bagaimana dengan makanan? Makanan adalah benda mahal untuk pendatang. Harga rata-rata makanan untuk oleh-oleh berkisar antara sekian puluh ribu sampai sekian ratus ribu!! Itupun biasanya respon dari mereka yang diberi oleh-oleh makanan juga hampir seragam “walah…oleh-olehnya kok cuman makanan, …nggak enak pula”…atau…”mbok oleh-oleh jangan makanan….barang apa gitu kek…” (padahal begitu dibelikan gantungan kunci komentarnya “oleh-oleh kok cuman gantungan kunci…”).
Ada cerita teman yang habis berlibur ke Jepang. Dia dimintai sodaranya untuk membelikannya kimono. Apa? Kimono? Wakakaka…Anda tahu berapa harga kimono? Puluhan ribu bahkan sering ratusan ribu yen!!! Bagaimana kalau boneka Ohinasama (boneka keluarga kaisar Jepang yang disusun di meja bertingkat seperti yang sering kita lihat di komik/kartun Jepang)? Hahahaha, itu juga puluhan ribu sampai ratusan ribu yen! Itu hand-made, dan semua barang buatan tangan di Jepang harganya selalu sangat mahal!
Nah, ini masalah yang kedua. Mencari benda yang khas Jepang atau yang ada tulisan “made in Japan” itu bukan pekerjaan yang mudah. Sangat mudah untuk menjumpai barang made in non Jepang, terutama made in China di toko-toko. Tapi kalau made in Japan? Hm… Selain itu, mencari benda yang khas Jepang juga susah. Kaos yang bertuliskan huruf Jepang, misalnya, itu hanya ada di toko-toko tertentu saja. Kenapa susah? Penyebab pertama mungkin karena perbedaan budaya. Di Jepang, jika ada yang bepergian ke luar kota, maka buah tangan yang dibawanya adalah makanan khas daerah tersebut. Sedangkan pernak-pernik khas di suatu daerah wisata, biasanya dibeli untuk kenang-kenangan pribadi, bukan untuk oleh-oleh. Lha mbok itu aja dibeli buat oleh-oleh. Yuk, kembali ke masalah harga. Gantungan kunci misalnya, yang model seperti ini biasanya harganya 700-an yen ke atas, meskipun bentuknya mungkin tidak lebih bagus dari gantungan kunci lima ribu rupiah di Indonesia.

Oleh-oleh berupa makanan. Jangankan di luar negeri, di kota Yogyakarta saja oleh-oleh sudah sangat mahal. Sebenarnya bukan bahan bakunya yang mahal, akan tetapi factor x yang membuat harga dinaikkan. Mulai dari sewa tempat yang tentunya strategis, segment pasar, gaji karyawan, branding, sampai jatah preman dan tukang becak. Seperti toko oleh-oleh di kawasan Jalan Solo. Barang-barang yang dijual sama persis seperti di supermarket atau toko-toko makanan yang lain, namun harganya bisa tiga kali lipat.
            “Pembeli kita kan, kebanyakan luar kota, jadi kita kasih harga juga ga mungkin murah,donk,”kata si pemilik.
            Ketika disinggung tentang perbandingan harga di luar yang jauh lebih murah, Pak Susanto pun memaparkan alasannya.
            “Ya, kalau kita pasang harga senada dengan yang lain, usaha kami bisa gulung tikar. Ada banyak pertimbangan untuk menaikkan harga. Seperti gaji karyawan, ongkos produksi, transportasi, dan marketing. Nah, biasanya kami pakai jasa marketing tukang becak, sopir bus, maupun tourist guide. Kalau ga gitu, bisa ga jalan usaha kami. Sepi…” papar bapak berputra dua tesebut. Setiap mereka bawa tamu, mau ga mau kita pasti ngasih komisi donk… belum lagi jatah preman tiap bulan. Ya,itung-itung biar aman sih…”pungkasnya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar